Demokrasi Liberal
Demokrasi liberal
(atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari
kekuasaan pemerintah.[1] Dalam demokrasi liberal,
keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung)
diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk
pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti
tercantum dalam konstitusi.[2]
Demokrasi
liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori kontrak
sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques
Rousseau. Semasa Perang Dingin,
istilah
demokrasi liberal bertolak belakang dengan komunisme ala Republik Rakyat. Pada zaman sekarang
demokrasi konstitusional umumnya dibanding-bandingkan dengan demokrasi langsung
atau demokrasi
partisipasi.
Demokrasi
liberal dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi barat di Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada. Konstitusi yang dipakai dapat berupa republik (Amerika Serikat, India,
Perancis) atau monarki
konstitusional (Britania Raya, Spanyol). Demokrasi liberal dipakai oleh
negara yang menganut sistem presidensial
(Amerika Serikat), sistem parlementer
(sistem
Westminster: Britania Raya
dan Negara-Negara
Persemakmuran) atau sistem
semipresidensial (Perancis).
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang
didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah
nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu
masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.
Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan
agama.Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya
sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan
Ada
tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan
Hak Milik (Life, Liberty
and Property).
Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai
dasar Liberalisme tadi:
- Percaya bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta (Trust in God as a Creator) . Semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi oleh Tuhan Penciptanya hak-hak tertentu yang tidak dapat dipisahkan dari padanya.
- Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
- Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)
- Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)
- Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
- Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of Individual)
- Negara hanyalah alat (The State is Instrument). Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri.
- Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
- Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yan
- menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Dua
Masa Liberalisme
Liberalisme
adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme
Klasik dan Liberallisme
Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. Sedangkan
Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme
Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh
Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Modern itu
masih ada. Liberalisme Modern tidak
mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau
dengan kata lain, nilai intinyanya (core values) tidak berubah hanya ada
tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. Jadi sesungguhnya, masa
Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.
Dalam
Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan.
Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan
paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik)
dan kapitalisme (ekonomi).
Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah
kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus
dipertanggungjawabkan. Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan
bebas yang sebebas-bebasnya
Pemikiran
Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan Liberalisme Klasik
Tokoh
yang mempengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup banyak – baik itu dari awal
maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai
pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik.
Marthin
Luther dalam Reformasi Agama
Gerakan
Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan
penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma. Ahmad
Suhelmi. Pemikiran Politik Barat. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
2007). Pada saat itu keberadaan agama sangat mengekang individu. Tidak ada
kebebasan, yang ada hanyalah dogma-dogma
agama serta dominasi gereja. Pada perkembangan
berikutnya, dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula.
Individu menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal
yang dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan
sekalipun. Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak – misalnya saja kritik
oleh Marthin Luther; seperti : adanya komersialisasi
agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan
manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya
timbul sebuah reformasi gereja
(1517) yang menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya “terkekang”.
John
Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda
Kedua
tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan
konsep negara alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of
Nature. Namun dalam perkembangannya,
kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu
sama lainnya. Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang
mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. Hobbes
(1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu pada
dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun,
manusia ingin hidup damai. Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat
baru – suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi
melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak
ketiga (penguasa). Sedangkan John Locke (1632 –
1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun
karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak
individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang
diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi
penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’. [
Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga
(Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional. Bertolak dari
kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran
mereka dalam konsepsi individualisme Inti dari terbentuknya Negara,
menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun
baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin Negara. Sedangkan
Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga
kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya
bertindak sebagai penetralisasi
konflik.
Adam
Smith
Para
ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab
ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi
kapitalis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan yang
mendasari seluruh pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan politik
bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat
yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar
berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam
Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro
Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama, haluan
pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah
politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang
faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan
harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung
kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya,
segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar dimana kedudukan
manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik.
Relevansi
kekuatan Individu Liberalisme Klasik dalam Demokrasi dan Kapitalisme
Telah
dikatakan bahwa setidaknya ada dua paham yang relevan atau menyangkut
Liberalisme Klasik. Dua paham itu adalah paham mengenai Demokrasi dan Kapitalisme.
*
Demokrasi dan Kebebasan Dalam
pengertian Demokrasi, termuat nilai-nilai hak asasi manusia, karena demokrasi
dan Hak-hak asasi manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya. Sebuah negara yang mengaku dirinya
demokratis mestilah mempraktekkan dengan konsisten mengenai penghormatan pada
hak-hak asasi manusia, karena demokrasi tanpa penghormatan terhadap hak-hak
asasi setiap anggota masyarakat, bukanlah demokrasi melainkan hanyalah fasisme atau negara totalitarian yang menindas.
Jelaslah
bahwa demokrasi berlandaskan nilai hak kebebasan manusia. Kebebasan yang
melandasi demokrasi haruslah kebebasan yang positif – yang bertanggungjawab,
dan bukan kebebasan yang anarkhis. Kebebasan atau kemerdekaan di dalam
demokrasi harus menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak
asasi manusia yang terkandung di dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi
mendukung dan memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman
yang dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi juga mengisyaratkan
penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan Rakyat.
*
Kapitalisme dan Kebebasan Tatanan
ekonomi memainkan peranan rangkap dalam memajukan masyarakat yang bebas. Di
satu pihak, kebebasan dalam tatanan ekonomi itu sendiri merupakan komponen dari
kebebasan dalam arti luas ; jadi, kebebasan di bidang ekonomi itu sendiri
menjadi tujuan. Di pihak lain, kebebasan di bidang ekonomi adalah juga cara
yang sangat yang diperlukan untuk mencapai kebebasan politik. Pada dasarnya,
hanya ada dua cara untuk mengkoordinasikan aktivitas jutaan orang di bidang
ekonomi. Cara pertama ialah bimbingan terpusat yang melibatkan penggunaan
paksaan – tekniknya tentara dan negara dan negara totaliter yang modern. Cara
lain adalah kerjasama individual secara sukarela – tekniknya sebuah sistem
pasaran. Selama kebebasan untuk mengadakan sistem transaksi
dipertahankan secara efektif, maka ciri pokok dari usaha untuk mengatur
aktivitas ekonomi melalui sistem pasaran adalah bahwa ia mencegah campur tangan
seseorang terhadap orang lain. Jadi terbukti bahwa kapitalisme adalah salah
satu perwujudan dari kerangka pemikiran liberal.
· Hak
positif
ang
utama bagi filsafat dari banyak kaum komunitarian adalah konsep tentang hak-hak
positif; artinya, hak-hak atau jaminan-jaminan untuk hal-hal
tertentu. Hak-hak tersebut mencakup antara lain pendidikan gratis, perumahan
yang terjangkau, lingkungan hidup yang aman dan bersih, pemeliharaan kesehatan
yang universal, jaringan pengaman social, atau bahkan hak untuk mendapatkan
pekerjaan. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, biasanya mereka mendukung
program-program pengaman sosial, pendidikan umum yang gratis, program-program
pekerjaan publik, dan hokum-hukum yang membatasi hal-hal seperti pencemaran
lingkungan dan pengendalian senjata api.
Suatu
keberatan yang lazim dikemukakan ialah bahwa dengan memberikan hak-hak seperti
itu, mereka melanggar hak-hak negatif warga negara; artinya hak-hak untuk
"tidak" mengalami sesuatu. Misalnya, mengambil uang dalam bentuk
pajak untuk membiayai program-program seperti itu seperti yang dilukiskan di
atas membuat individu tidak memiliki properti. Para penganjur hak-hak positif
menjawab bahwa tanpa masyarakat, individu tidak akan memiliki hak
"apapun", jadi wajarlah bila mereka harus memberikan kembali kepada
masyarakat. Lebih jauh mereka berpendapat bahwa tanpa hak-hak positif, hak-hak
negatif dijadikan tidak relevan. Misalnya, apakah artinya hak untuk memiliki
pers bebas di dalam suatu masyarakat yang memiliki tingkat melek huruf
15 %? Selain itu, sehubungan dengan pajak, kaum komunitarian
"memahami hal ini bukan terutama dalam arti dimanfaatkan demi
tujuan-tujuan orang lain, melainkan lebih sebagai cara untuk menyumbang demi
tujuan-tujuan komunitas yang saya anggap sebagai tujuan-tujuan saya
sendiri" (Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 143).
Alternatifnya, sebagian orang mengakui bahwa hak-hak negatif dapat dilanggar
oleh tindakan pemerintah, namun mengatakan bahwa hal itu dapat dibenarkan bila
hak-hak positif yang dilindungi mengalahkan hak-hak negatif yang dilangar.
Para
komentator lainnya, tidak harus kaum komunitarian, berpendapat bahwa
"hak-hak negatif" sendiri identik dengan hak-hak positif dalam
praktik, karena hak untuk tidak mengalami sesuatu menyiratkan hak untuk
dilindungi dari orang-orang yang mungkin akan melakukan sesuatu atas diri kita
- dan perlindungan ini pada dasarnya sama dengan suatu hak positif.
Apa
yang dimaksud dengan “hak alamiah” adalah hal yang diperdebatkan dalam politik
modern; misalnya, apakah pemeliharaan kesehatan yang universal dapat dianggap
sebagai hak sejak lahir, ataukah seberapa jauh pemerintah dapat bertindak untuk
melinungi lingkungan hidup.
0 Comments